Kapankah anak memiliki kesiapan untuk
dididik Al-Qur’an? Idealnya anak menerima pendidikan Al-Qur’an secara formal
pada usia 4-6 tahun. Mengapa usia 4-6 tahun dianggap ideal, karena pada usia 7
tahun, anak telah ditekankan untuk dilatih menjalankan sholat, sedangkan sholat
otomatis membutuhkan (kelancaran) bacaan-bacaan Al-Qur’an, paling tidak adalah
surah al-Faatihah dan surah-surah pendek, di samping bacaan doa-doa. Tenggang
waktu 3 tahun kiranya dapat diperguakan untuk mempersiapkan prasarana anak
sebelum benar-benar diperintah melakukan latihan sholat. Rasulullah SAW
bersabda yang artinya:
“Suruhlah
anak-anakmu menjalankan sholat disaat umur tujuh tahun, beri mereka pukulan
bila meninggalkan sholat di saat umur sepuluh tahun, dan pisahkan tempat-tempat
tidur diantara mereka.” (HR Abu
Dawud)
Program pendidikan Al-Qur’an pada
anak dengan demikian telah bisa dimulai sejak usia balita (bayi di bawah usia
lima tahun), tepatnya sejak usia empat tahun. Pada usia itu diyakini anak telah
siap menerima pendidikan Al-qur’an.
Al-Qasthalani menceritakan dalam
karyanya, Irsyadus Sari, bahwa
sahabat abdullah bin Abbas atau yang dikenal dengan Ibnu Abbas telah hafal
Al-Qur’an sedang usianya masih kecil. Sementara Sufyan bin Uyainah telah mampu
menghafal Al-Qur’an pada usia 4 tahun. Imam asy-Syafi’i pada usia 7 tahun, dan
Ibnu Hajar al-Asqalani pada usia 9 tahun. Jika pada umur-umur belia itu mereka
telah mampu menghafal Al-Qur’an, bisa dibayangkan, kapan mereka mulai menerima
pendidikan Al-Qur’an kalau tidak sejak usia balita.
Sebelum usia 4-6 tahun pun, anak
sebenarnya dapat dididik Al-Qur’an, hanya saja teknisnya informal, misalnya
melalui aktivitas memperdengarkan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an, melatih mengeja
huruf-huruf hijaiyah, serta kegiatan pramembaca lainnya kepada anak.
Menurut para pakar psikologi
pendidikan, menjelang usia dua tahun, anak mulai memiliki kemampuan untuk
memberi atau mengenal nama benda-benda. Sementara sejak genap berusia dua
hingga tiga tahun anak telah memiliki kesiapan untuk membaca.
Pada usia dini tersebut, anak
kelihatan suka meniru. Bila orang tua memperdengarkan bacaan Al-Qur’an atau
melatih mengeja huruf-huru hijaiyah pada anak secara berulang-ulang, bacaan itu
akan mudah diserap atau direkam di otak si anak, sebagaimana anak begitu mudah
menyerap kata-kata kotor yang diperdengarkan di depannya berulang-ulang oleh
orang tuanya.
Hanya saja, karena menyangkut dunia
anak, sebisanya dihindari faktor-faktor yang membuat anak benci, bosan atau
lari dari pendidikan.
Al-Qur’an, lebih-lebih di masa
awal-awal pendidikan. Kesan pertamanya adalah kesan yang sulit dihilangkan.
Orang tua atau pendidikan Al-Qur’an diharapkan menumbuhkan kesan indah bagi
anak pada awal-awal masa pendidikan, hingga membuat anak berminat belajar
Al-Qur’an dengan penuh semangat dan gembira.
Dunia anak adalah sunia bermain. Ada
bahaya yang sangat besar jika orang tua atau pendidik Al-Qur’an mengabaikan hal
ini. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’
Ulumuddin menyatakan,”Hendaknya anak kecil diberi kesempatan bermain.
Melarangnya bermain dan menyibukkannya dengan belajar terus akan mematikan
hatinya, mengurangi kecerdasannya, dan membuatnya jemu terhadap hidup, sehingga
ia akan sering mencari alasan untuk membebaskan diri dari keadaan sumpek ini.”
Untuk mengatasi hal ini, jalan
keluarnya antara lain ialah anak diberikan motivasi, tidak dikerasi namun
disayang, tidak dicela namun didukung, apapun yang terjadi. Anak juga tidak
diberikan beban kerja yang berlebih, di luar kapasitas kemampuannya. Sebaiknya
anak diberikan kesempatan bermain, cerita dan bernyanyi (berkasidah) Islami.
Kalau perlu, ada hari-hari tertentu untuk libur (istirahat) agar tidak
menonton, karena pendidikan yang monoton kerap berefek menjemukan.
Sumber
: Mendidik Anak, Membaca, Menulis dan Mencintai Al-Qur’an
0 komentar:
Post a Comment